Pertanyaan :
Bismillah, Afwan Ustadz, mau bertanya. Apabila di kampung ada PKBM yang menyelenggarakan kejar paket, apakah kita bisa mendaftarkan anak-anak kita?
Jawaban :
Terlepas dari ini, yaa ikhwaan, المرء ابن زمانه (sebuah pepatah Arab yang artinya “seseorang mengikuti zamannya”). Thoyyib, tentu bukan maknanya mengikuti zaman yang menyelisihi syariat, bukan itu. Tetapi dalam bab yang kita maksud adalah الشهادة atau dalam bahasa kita disebut ijazah, atau lidah kita menyebutnya ijasah. Macam-macam, ini zamannya memang. Zaman di mana orang menilai keahlian seseorang dengan itu, dan itu menjadi صلة (penyambung/pengakuan), meskipun itu bukan segalanya. Na’am! Tetapi الشهادة itu menjadi apa? صلة (penyambung/pengakuan) di zaman kita ini.
Bisa jadi seseorang punya kemampuan untuk mengobati orang, mengenal obat-obat kimia, misalkan dia ahli baca otodidak. Bahkan, mungkin dia lebih hafal obat-obatan daripada seorang dokter spesialis. Mungkin saja! “pasang plang praktek dokter otodidak”? Enggak bisa, yaa ikhwaan! Na’am, dokter OTD (Otodidak) apa itu dokter OTD (Otodidak) Enggak bisa, yaa ikhwaan! Antum akan dipenjara karena malpraktek. Kan demikian, Sekarang zamannya seperti itu, zamannya paspor. Tidak bisa kita seenaknya. Dulu, zaman dulu nggak perlu paspor, masuk negara lain, langsung masuk saja. Nekat Antum! mau masuk Saudi bawa keranjang, sejak dari imigrasi sudah langsung masuk ke kantor khusus imigrasi dan dideportasi. Zamannya itu, na’am.
Sehingga, ketika kita mendapatkan fatawaa para ulama terkait الشهادة (ijazah), maka itu sesuatu yang bisa menjadi صلة (penyambung/pengakuan) bagi kita, meskipun sekali lagi, itu bukan segalanya. Jika seseorang bertanya, “Bolehkah kita berusaha mendapatkan ijazah formal seperti yang ditanyakan oleh penanya?” Jawabannya adalah: Boleh! Silahkan! Dan seandainya dikoordinir dengan baik oleh Ma’had, ini akan lebih baik lagi. Didiskusikan, dimusyawarahkan, yaa.
Karena kalau kita berbicara PKBM, PKBM ini banyak jenisnya. Dari sisi kemampuannya, ada yang terakreditasi A, ada yang tidak. Termasuk juga ada hal-hal yang mungkin bisa kita diskusikan, bisa kita buat MOU dengan pihak-pihak tersebut. Kalau yang putra, yang ngajar juga putra, biar lebih enak. Yang putri, yang ngajar putri. Na’am, didiskusikan.
Terkait dengan ini, pemerintah kita sesungguhnya telah banyak membuka sekian banyak “kran” untuk memudahkan warga negara Republik Indonesia mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang mungkin berbeda-beda. Ada pondok pesantren yang mereka lebih fokus untuk belajar agama secara tradisional. Kita berbicara di negeri kita ini, banyak pondok pesantren di pelosok-pelosok yang masih tradisional, belajar kitab kuning, belajar nahwu, shorof. Itu juga diakomodir oleh pemerintah, oleh penguasa kita, untuk mereka mendapatkan pendidikan yang terukur dan terakui.
Sehingga ketika kita melihat di Kementerian Agama (Kemenag), ada beberapa produk yang menjadi arahan pemerintah, seperti معادلة (Mua’adalah) pondok. Thoyyib, yang namanya SPM (Satuan Pendidikan Muadalah), di mana pondok pesantren yang telah mendapatkan izin operasional bisa mengajukan untuk diakreditasi muadalah. Muadalah tingkat Ula SD, kemudian wustho, kemudian di atasnya lagi, bahkan sampai Mu’adalah jenjang yang lebih tinggi, seperti Ma’had Ali, pendidikan Strata 1, Magister, dan juga Doktoral. Dimana Ma’had Ali itu tidak bisa didirikan kecuali di lingkungan pondok pesantren dengan ketentuan dan syarat yang telah ditetapkan.
Mudah sesungguhnya! Artinya, upaya untuk kita mendidik anak-anak kita belajar di pondok pesantren, membaca Alquran, menghafalkan Alquranul Karim, membaca kitab-kitab para ulama (kitab kuning), masih terus berjalan. Na’am, dengan menjaga ke-khasan pondok pesantren. Itu ada “kran” dari pemerintah juga, na’am.
Ada lagi bentuk lain yang bisa dilihat pada peraturan perundangan yang dibuat oleh pemerintah kita untuk memudahkan anak bangsa didalam mengenyam pendidikan yang lebih baik. Na’am, jadi: المرء ابن زمانه “seseorang mengikuti zamannya”. Dan kita melihat fatwa para ulama juga luar biasa dalam memperhatikan sisi ini. Tentu, seperti yang tadi saya tekankan, diskusi dan musyawarah antara pengurus Ma’had, pengurus pondok pesantren, untuk mendapatkan pola yang terbaik untuk bisa membuat MOU yang nyaman. Ini menjadi sesuatu yang mungkin perlu diperhatikan.
Adapun terkait dengan pribadi-pribadi yang mau mengikuti pendidikan atau PKBM, itu menjadi hak mereka. Silahkan! Tetapi, ketika itu menjadi bahan diskusi dan musyawarah di Ma’had, mungkin akan lebih baik lagi. Ini barangkali yang bisa kita sampaikan terkait dengan pertanyaan السائل (penanya). والله تعالى أعلم بالصواب.